“Kasih Ibu, kepada beta…huk..huk..tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali…huk..huk…bagai sang surya menyinari dunia….” Air mata Surya mengalir deras membasahi pipinya…..tangan kanannya memeluk erat sang Bunda….sementara tangan kirinya menopang beban dirinya, serta ibunya yang tertidur pulas….
Bersama Ibunda
Di malam tahun baru 2007 acara tersebut. Mereka mengevaluasi diri dengan jernih dan tulus. Betapa banyak kesalahan, kekhilafan dan kekeliruan selama tahun 2006 dan tahun-tahun sebelumnya. Kesalahan, kekhilafan dan kekeliruan dalam bekerja, bertetangga, berkeluarga dan beribadah.
Hysteria massa bergema ketika pemimpin acara menyebutkan perilaku doa manusia kepada Allah, berbuat maksiat, pelacuran, berdusta, durhaka terhadap orang tua, menelantarkan orang tua, dll. Air mata mengalir membasahi pipi….bahkan sebagian diantara mereka ada yang tak sanggup menahan tangis dan jatuh pingsan. zikir bersama - sumber : http://www.sman1-trk.com
Setelah acara selesai, Surya menghampiri ibunya, mencium tangannya dan bersimpuh. Air mata Surya terurai. Dengan lembut dan penuh kasih sayang Bu Indah menarik Surya dalam pelukan hangatnya. Lalu membaringkan tubuh Surya dalam pangkuannya….Sambil membelai rambut anaknya, Bu Indah berkata,
“Nak, nanti kalau sudah di Jakarta, belajar yang rajin ya. Biar jadi anak yang pinter, ….bisa jadi ‘orang’. Jangan kayak Ibu, cuman dagang kue buat ngidupin kamu, sekolah kamu, adik kamu-Yana…”
“Iyya Bu….tapi Surya lebih seneng di sini aja Bu. Bisa bantuin Ibu dagang kue…” jawab Surya
“…..Surya,…..kamu teh dapet beasiswa dari sekolah. Kapan lagi kamu bisa kuliah…..kamu tahu berapa berapa hadil dagangan kita….” Tambah Ibunya dengan logat sundanya yang kental
“…Tapi Bu…..”
“…sudahlah Anakku,..kamu gak usah mikirin Ibu. Ibu masih bisa kok dagang sendirian. Lagian kalau kamu ambil beasiswa itu, beban Ibu jadi lebih enteng. Ibu tinggal mikirin sekolahnya Yana….”
“…Bu,…. Surya….”
“…Surya, Ibu seneng kamu perhatian sama Ibu. Berbakti sama Ibu….tapi Ibu lebih bangga kalau kamu jadi sarjana. Bisa ngangkat keluarga. Bisa bantu adik kamu….” Sambung Bu Indah, seolah tidak memberikan kesempatan Surya untuk bicara.
Surya terdiam. Termenung. Hatinya galau memikirkan keluarganya, Ibu dan adiknya. Dia memejamkan mata, menahan air mata yang kembali akan keluar.
Terbayang nostalgia bersama adiknya Yana yang masih duduk dibangku SMP. Mereka membawa kue menuju desa tetangga. Menyebrangi sungai melalui titian jembatan bambu kecil. Berpegangan tangan saling membantu dan bekerja sama.
Satu ketika, Yana terperosok ke dalam lubang jembatan, persis di tengah sungai yang mengalir deras akibat hujan lebat malam harinya. Yana berteriak keras meminta bantuan Surya. Wajahnya dikerutkan menahan sakit di kakinya yang terhimpit di selah-selah bambu. Surya segera menolong adiknya. Tak dihiraukan sebagian kue buatan Ibunya yang terbuang ke sungai. Hanya satu yang terbetik dalam hatinya, adiknya harus selamat, keluar dari himpitan bambu jembatan. Surya mengerti kerugian besar yang diderita Ibunya, karena banyak kue yang terbuang kedalam sungai, tapi ia juga yakin jika Ibunya akan mengerti kondisi mereka.
Surya masih ingat teriakan Yana saat itu, “A’aaaaaaaaaaaa…..Aaaaaaaa…tolong Aaaa….”
Surya juga ingat seraut wajah yang meringis menahan tangis ketika patahan bamboo menghimpit pangkal pahanya, dan sebagian kakinya sudah masuk dalam aliran sungai yang mengalir deras.
Air mata Surya berhasil menembus kelopak matanya. Bulirannya mengalir menghiasi wajahnya yang masih termenung.
“…Surya….Sur…..” suara itu menyadarkannya dari lamunan
“….Surya,…kamu tidak mendengarkan omongan Ibu ya….?”
“….eh..ah…ng, denger kok Bu,….Ibu minta Surya tetep ke Jakarta kan ngambil beasiswa itu….”
“..Ach, kamu…dari tadi Ibu ngomongin hubungan kamu sama Santi, anak Pak Haji Amir….”
“….hah…” Surya tersentak
Pikirannya melayang ke wajah Santi yang manies. Putih, rambut ikal terurai sedikit dibawah bahu dan berlesung pipit kecil di pipi kirinya. Surya tersenyum.
“….Hayyo, kamu ngelamun apa lagi Surya….”
—oooOooo—
Innovasi Ketua BEM Baroe
Jakarta, medio 2009
Seorang mahasiswi memperhatikan dengan seksama sambutan pembukaan ’Orientasi Mahasiswa Baru’ (OMB) yang disampaikan oleh Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Tak ada satupun yang terlewatkan. Setiap kata, kalimat bahkan batuknya sang pembicara terekam dalam memorinya….
Bila Ketua BEM itu tersenyum, ia ikut senyum. Jika si pembicara bertanya retoris, ia dengan reflaks menjawabnya, meski dengan suara datar dan perlahan.
Kemudian membahana suara tepuk tangan mengiringi akhir dari sambutan sang Ketua Senat. Sesekali terdengar suara siulan dari kursi bagian belakang. Ssuiiiitt…suiiiiiiittttt
”kamu memang bintang. Wajar bila siuan selalu muncul ketika kamu berbicara..” gumam mahasiswi tadi, lalu ia menghela nafas panjang.
”..akankah aku bisa menjadi milikmu..?”
Tak lama kemudian, palu diketok tiga kali oleh Rektor, yang diikuti oleh gemuruh tepuk tangan tanda diresmikannya pelaksanaan (pembukaan) Orientasi Mahasiswa Baru, dengan metode intelektual. OMB Gaya Baru saat itu, dimana kontak phisik antara ’Senior’ dan ’Junior’ ditiadakan, dan digantikan dengan metode lain yang lebih mendidik, mendekatkan mahasiswa baru dengan dunia kampus serta penghargaan terhadap mahasiswa ’senior’ dengan cara yang lebih elegan, akademis dan tetap mempertaikan rambu-rambu pendidikan dan etika.
”Hidup Ketua BEM baru….” teriak seroang Mahasiswi
“…Sssuuuiiiit..suuuiiiiit…”
Ungkapan Seorang Mahasiswi
Tepat jam 8 malam, ba’da Isya, Surya keluar dari kamar kostnya. Rasa lapar membuatnya tergerak menuju rumah makan Bu Min, yang biasa menjadi tempat mangkal mahasiswa.
”Mah,…soto ayam,…gak pake kol ya..”
”Yupz..” jawab Bu Min, yang biasa dipanggil ’Mamah’, dengan gayanya yang ’gaul’
”..Loch tumben sendirian….mane yang laen, Sur?” tanya Bu Min, dengan logat betawinya yang kental
”……”
”Sur,.. Riana ada di pojok tuh. Dah dari tadi nungguin loe” kata Bu Min setengah berbisik, dengan mulutnya yang diarahkan ke sudut kiri warung makan itu
Surya menoleh ke arah yang dibisikan Bu Min. Dia melihat seraut wajah maniez tengah termenung. Tatapannya kosong. Sebuah piring berisi beberapa potong ‘gorengan’ tergeletak tak berdaya dibiarkan begitu saja. Hanya sesekali tangannya terlihat mengaduk teh manis hangat yang ada didepannya.
Surya segera menghampiri gadis itu.
“ Hello non…boleh ai duduk disini…?” tanya Surya
Sebelum gadis itu menjawab Surya sudah medudukkan ‘pantatnya’ diatas kursi makan tepat di depan Riana. Gadis itu tersenyum. Kemudian menunduk kembali
“Kenapa Ri,…ada apa?” tanya Surya lagi
Riana tidak segera menjawab. Dia membetulkan duduknya. Kemudian menarik nafas panjang, dan menghirup teh manies hangat.
”Ri, katanya kami mo nganggap aku kakak..ayyo dong cerita klo kamu ada masalah”
Riana kembali menarik nafas panjang
”Sur, selamet ya. Kamu memang layak jadi bintang”
”Loch…loch, ditanye ape jawabnye ape….mang ade ape nooon?”
Riana kembali terdiam, dia hanya menyobakkan utaian rambutnya yang turun menutupi wajahnya. Kemudian suasana menjadi sunyi. Sesekali terdengar suara adukan teh manies di gelas milik Riana.
”Sur,…!!” serua Riana
”Yess…” jawab Surya setengah bercanda
”Aku serius neeh…!!”
”Ya udah, .. kenapa..??”
”Kalo Dian dan Rengganis itu dah jadian ya ma kamu..? enak ya, punya dua pacar sekaligus..”
“Eh, eh, ade ape lagie neeh. Kok tahu-tahu ngomongin Dian n Rengganis..jadi curige neeh…”
“Udeh deh, jangan pake logat betawie yang dipaksain…” jawab Riana ketus
”hehehehe…kamu aja ngikutin aye….pegimane…”jawab surya penuh canda
”…hahahahhahahaha…” mereka tertawa bersama
”Sur, sejak kamu masuk Kampus ini, mang harus diakui klo banyak perubahan. Kegiatan sosial marak. OMB dah berubah. Kamu hebat Sur…”
Surya masih terdiam. Ia mereka-reka arah pembicaraan Riana, Mahasiswi semester akhir, dua tingkat diatas Surya
”..kamu mang layak jadi bintang. Tadi aku perhatiin, waktu kamu kasih sambutan pembukaan OMB, banyak siulan. Banyak juga mahasiswi yang curi-curi pandang…” jelas Riana lagi
”Maksud kamu…?” tanya Surya mulai serius
Riana tak langsung menjawab. Dia kembali menarik nafas panjang.
”..Yaaa, kamu memang menjadi incaran banyak cewek. Aku tahu. Kamu juga deket banget ma Dian dan Rengganis…..banyak yang bilang kamu dah jadian ma mereka…”
”..Oooh itu toh intinya…”
”Bukan cuman itu. Kabarnya juga kamu mau membuat wadah khusus bagi mahasiswa baru agar mereka gak ketinggalan mata kuliah kayak senior-seniornya…”
Surya mengangguk-anggukan kepalanya, ”Mang salah ya….?”
”yaa…salah seeh enggak, cuman….” Riana kembali menghela nafas
“Cuman, itu semakin merenggangkan jarak kamu ma kita-kita…”
“Aduuuh, Riana, kamu kok ampe sejauh itu seeh. Buktinya kita masih bisa makan bareng…lagian, kita khan dah sepakat klo kita kudu bikin sesuatu supaya gak ada lagi yang ketinggalan mata kuliah. Khan kamu juga ikut waktu rapat BEM minggu lalu..”
Riana terdiam. Surya juga terdiam. Suasana sunyi sejenak.
“Sur….” Riana memecah keheningan
“Papaku minta aku nerusin kulian di Aussie. Katanya mumpung Papa lagie mampu dan belum pensiun. Lagi pula, kakak sepupuku juga disana”
Surya tersentak kaget. Aussie, negeri yang terletak ribuan km sebelah selatan Indonesia. Wajahnya mulai terlihat memucat. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Entah pikiran apa.
“Sur…?”
“eh..iyya…ada apa…” jawab SUrya agak gugup
“Klo kamu dah lupus nanti, kamu mo kemana…?”
Surya tersenyum kecut…”Ri, aku masih dua tahun lagi. Masih lama….”
”Sur, menurut kamu gimana…apa aku ngikutin omongin Papa ato gimana…?”
Surya terdiam. Dalam hatinya dia merasakan sesuatu yang bergetar. Ada perasaan lain ketika Riana mengungkapkan bahwa dia akan ke Aussie. Ada perasaan tidak rela. Tidak sependapat dan ingin menghalangi. Namun niat itu diurungkannya, mengingat dia belum tahu apa yang ada dihati gadis itu.
”Sur,…” Riana, tidak meneruskan kata-katanya. Dia menyisir pandangan ke seluruh sudut di rumah makan Bu Min.
”Sur, harus kuakui kalau aku memendam rasa padamu…” sambung Riana dengan suara agak berat dan parau, kemudian menunduk dan menghela nafas panjang
Surya masih terdiam. Pergulatan dihatinya demikian hebat. Banyak kata, kalimat dan ungkapan-ungkapan yang ingin dikeluarkannya. Namun tak kuasa
Selain itu ia juga tersentak dan kaget menerima ’todongan’ dari Riana yang demikian berani mengungapkan perasaannya.
”Aku memang terlalu naif ngomong kayak gitu….” jelas Riana lagi
”Namun karena semalam Papa nyuruh aku nerusin kuliah di Aussie, aku kepikiran kamu, Sur…lagi pula, aku dah mo lulus. Tinggal Sidang Skripsi aja…” Riana kemudian ’membuang’ wajahnya kebelakang, menutupi rasa malunya.
Kali ini Surya yang menarik nafas panjang. Dia masih terpikir Santi, gadis di desanya. Namun berita pernikahan Santi dengan seorang pria asal Bandung beberapa bulan lalu menguburkan pikiran itu.
”Ri, ….” Surya kembali menarik nafas. Menunda kalimat lanjutannya
”…Ri, aku…aku….eh..eng, aku juga ada rasa sama kamu. Tapi aku…tapi aku…”
Belum sempat Surya meneruskan kalimatnya, Riana segera memeluknya. Melampiaskan emosi. Dibiarkan air matanya mengalir membasahi pipinya. Matanya dipejamkan erat, seolah memeras air matanya agar semakin banyak lagi yang keluar
”Terima kasih Sur..terima kasih…”
”Aku akan bicara ma Papa, kalau aku gak mau ke Aussie. Aku mau langsung kerja di Jakarta aja…biarbisa tetep ketemu sama kamu Sur…”
—oooOooo—
Menemui Ibunda tercinta
Liburan Semester ini dimanfaatkan Surya untuk pulang kekampungnya, di selatan Bandung. Kali ini ia membawa Riana sebagai teman perjalanan yang akan diperkenalkannya kepada orang tuanya.
”Sur, bener neeh kamu siap ngenalin aku ma Ibu kamu….?”
”heheehe…kamu yang harus siap-siap Ri….soalnya kamu akan menemukan Surya yang sebenarnya. Anak kampung yang kebetulan dapat beasiswa kuliah di Jakarta…“
”hahahaha….aku dah jenuh Sur, ngeliat suasana keangkuhan kota. Lagian kamu kan anak kuliahan…hahahaha….kayak film si Doel gitu..hahahahah“
Mereka tertawa riang dalam perjalanan pulang kampung dengan menggunakan mobil sedan silver metalik pemberian Papa Riana
Semakin dekat dengan desa tempat tinggal Surya, suasana sejuk dan hijau semakin tampak dan terasa. Kaca mobil diturunkan agar nuansa alam dapat mereka rasakan. Gemericik air mulai terdengar. Suara-suara burung juga tak mau ketinggalan. Beberapa orang penduduk yang papasan dijalan menganggukkan kepala dengan ramah, seolah sudah saling mengenal. Budaya desa yang masih alami.
”Kita sudah hampir sampai Ri,..siap-siap ya bertemu camer..hehehehe”
Riana mencubit pelan pinggang Surya, membuat Surya sedikit melnggokkan badannya…“hei..hei…jangan maen cubitan donk“
”haa..ahahahaha…“
”hehehehehehe”
Perjalanan yang menyenangkan. Penuh tawa, penuh canda dan riang nyanyian.
Tiba disebuah komplek pemukiman….
”Gedubrakkk……“
Riana dan Surya terkejut. Seorang Ibu jatuh tersungkur di teras sebuah rumah mewah, disertai bantingan pintu yang tak kalah kerasnya. Mereka menghentikan laju mobilnya.
”Dasar wanita murahan….Pergi dari sini….!!” bentak seorang pria setengah baya
”Sur, bener neeh kamu siap ngenalin aku ma Ibu kamu….?”
”Maaf Tuan…huk..huk…jangan usir saya…“ jawab Ibu tersebut sambil memegang kaki kanan pria setengah baya itu
”Pergi kataku….pergiiii….“ bentak lelaki itu dengan mengentakkan kaki kanannya dan menunjuk ke arah jalan
”Jangan tuan…jangan…nanti anak saya dimana tuan,..huk..huk.. ”
”Apa kamu bilang..? anak kamu….? itu urusan kamu, perempuan …..(cencored).. ”
”Tuan….maafin saya Tuan, ,,,,saya siap melayani tuan…….“
”Sudah sana, saya sudah mendapatkan yang lain …..“
“Tuan…huk..huk“ tangan wanita itu masih memegang erat kaki lelaki, yang menjadi pemilik rumah mewah tsb
“Semalam kamu berani menolak saya, setelah banyak uang saya keluar buat anakmu…sekarang Pergiii…“ Lelaki itu menarik tangan wanita itu dan mendorongnya keluar dari rumah
“Gubrakkkkk… “ wanita itu kembali jatuh tersungkur
Riana dan Surya memperhatikan dengan seksama. Wajah wanita itu penuh guratan berwarna merah dan biru lebam seperti bekas benturan dan pukulan tangan. Wajahnya masih terlihat cantik alami, meskipun usianya sudah diatas kepala empat. Kulitnya juga masih tampak halus, khas wanita desa.
Sementara lelaki pemilik rumah mewah itu masih berdiri tegak dan berkacak pinggang seolah memperlihatkan kekuasaannya.
“Aku sudah tidak butuh kamu lagi….“ teriak lelaki setengah tua itu
Wanita tadi mengangkat sedikit wajahnya. terlihat aliran darah segar dari bibirnya. Dorongan lelaki itu membuat ia tersungkur dan wajahnya membentur jalan. Darah terus mengalir ke dagunya.(ilustrasi Kekerasan - sumber : http://www.wartakota.co.id/)
(sumber : http://www.wartakota.co.id/upload/photo/2009/10/16)
Beberapa orang yang lalu lalang tidak ada yang berani melerai. Mereka menganggapnya sebagai ’keributan’ keluarga.
Ketika wanita korban KDRT itu menyibakkan rambutnya,………….
”Ibuuuuuuuuu………..Ibuuuuuuuuuuu” terdengar teriakan keras melengking dari pinggir jalan
”Ibuuuuuuuuuuuuuu………………” seorang anak muda berlari kearah wanita yang masih dalam kondisi lemah itu
”Ibu….huk,…huk….apa yang terjadi Bu…?”
Anak muda tadi lalu memangku kepala wanita itu. Mengusap lembut rambutnya. Mulutnya sesegukan tak kuasa melihat kondisi Ibunya. Air matanya mengalir, ikut merasakan sakit yang di derita Ibunya.
“Hai…siapa kamu…?“ bentak si pemilik rumah mewah itu
Anak muda itu tetap memangku kepala Ibunya yang masih lemah. Di usapnya darah segar yang masih mengalir dari bibirnya.
”Ibuu….”
”Hai, anak muda….siapa kamu, berani ikut campur urusanku…?” bentak sipemilik rumah dengan suara yang lebih keras
Anak muda itu bangkit perlahan setelah menurunkan kepala Ibunya. Anak muda itu menggeleng. Dia sangat geram, tangannya terkepal. Deretan girinya terlihat menyeringai saling beradu….perlahan namun pasti dia mendekati lelaki paru baya itu
”Bapak tua…wanita ini adalah Ibuku…setiap orang yang menyakitinya akan berusuan dengaku…..” jawab anak muda tadi
Tersentak dan terkejut. Lelaki tua itu melangkah mundur. Namun langkahnya terhenti ketika kakinya menyentuh pintu rumah.
”Mau kabur kemana kau Pak Tua…..?” anak muda itu terus memburunya
Ditengah kebingungan dan ketakutan, lelaki tua pemilik rumah itu berujar
”..Oh kamu Surya, anak wanita tua murahan itu,,,,,,anak gak tahu diri. Kuliah kamu dan hidup kamu aku yang tanggung selama ini…anak gak tahu terima kasih..”
Surya berhenti melangkah demi mendengar penuturannya.
”..hahaha…kamu terkejut kalau uang yang selama ini dikirimkan oleh Ibumu adalah uangku…..kamu tidak tahu kalau hidup keluargamu aku yang menanggung” teriak lelali itu lantang.
Surya bergeming. Diam seribu bahasa. Tak tahu apa yang harus diperbuat.
“Surya, asal kamu tahu, wanita murahan itu mencuri uangku…dia selalu meminta imbalan uang untuk dikirimkan ke Jakarta, setiap aku ‘menidurinya’……chuiiih” jelas lelaki itu sambil menyemburkan ludah kearahnya.
Surya menarik nafas panjang. Tangannya kembali terkepal. Kepalanya pening. Hatinya bergejolak…..dia ’meniduri’ Ibunya…dia memberi Ibunya imbalan uang untuk dikirim kepadanya…jadi..jadi…..Ibunya…..jadi selama ini uang yang dipakainya untuk biaya hidup di Jakarta berasal dari……
”Bukkk…..”
Terdengar suara pukulan yang keras. Orang – orang terperangah. Tangan kanan Surya beradu dengan telapak tangan kirinya. Menahan marah yang sangat. Beberapa orang yang sejak tadi ikut berkerumun menyaksikan adegan itu berusaha melerai….memegangi tangan Surya yang sudah bergetar sekujur tubuhnya menahan amarah. Giginya gemeretak beradu atas dan bawah. Tangannya terus terkepal. Meronta berusaha melepaskan diri dari pegangan orangan-orang.
”Pak Tua, tidak ada satupun orang yang punya hak untuk menyakiti orang lain. Meskipun engkau telah banyak memberikan uang kepada Ibuku, namun kelakuanmu lebih buruk dari makhluk berkaki empat……” seru Surya
”Dasar anak sialan…”teriak lelaki tua itu, dengan kedua tangannya berjaga-jaga menutupi wajahnya.
”Perkataanmu sejak tadi menunjukkan bahwa engkau bukanlah makhluk beradab. Hanya syaithon yang selalu berkata dengan kemarahan dan keangkuhan….” seru Surya lagi.
”Bahkan engkau jauh lebih rendah dari seekor bintang ternak. Memeras ’hati’ orang lain, memanfaatkan orang lain untuk memuaskan nafsu bejatmu, dan membuangnya ketika kau merasa dia tak berguna lagi…..lalu kau mencari mangsa baru…apa bedanya kau dengan ’belis’ laknatullah….” seru Surya dengan mulut mencibir
Orang tua tadi tediam. Terperangah. Tak menyangka Surya, anak dari Bu Indah yang baru saja ia aniaya bisa berkata seperti itu. Tatanan kata dan susunan kalimat yang hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki pengetahuan dan adab yang tinggi. Berfikir demikian, pemilik rumah itu semakin takut dan berusaha menyembunyikan wajahnya dari tatapan banyak orang. Apalagi Riana sejak awal merekam semua kejadian dengan kamera miliknya.
Surya berdiri tegak, seolah menandakan sebuah kemenangan besar. Orang-orang yang sejak tadi mengelilingi juga sudah melepaskan pegangan tangannya. Mereka membenarkan apa yang telah diucapkan oleh Surya. Mereka juga menyadari betapa selama ini begitu takut terhadap orang tua itu, hanya karena banyak dari mereka yang ’mengais’ rejeki darinya…meski dengan pengorbanan anak dan atau isterinya.
”Pak Tua, aku tidak akan membiarkan kelakuan bejatmu mengotori kampungku. Aku yakin kaupun telah ’terusir’ dari kampungmu. Aku juga yakin masyarakan tidak akan menerimamu lagi…..” tambah Surya
”Betulll…betuuullllll…….” teriak yang lain serempak
”Pak Tua….derita Ibuku harus kau balas dengan hukuman……….” Surya tak mampu meneruskan kata-katany….ketika terdengar suara….”…eeehhhhhhh….”
”Suryaaa……..” lirih suara itu pelan
”Suuurrrr….” suara itu kembali terdengar….perlahan
Surya membalikkan badannya. Segera ia berlari cepat ketika melihat Ibunya memanggil dengan suara parau. Tangan kanannya melambai lemah. Rambutnya tergerai menutupi sebagian besar wajahnya. Sementara tangan kirinya berusaha menopang tubuhnya yang terlihat sangat lemah. Kakinya terselonjor yang memperlihatkan sebagian bekas luka penganiayaan.
”Suuurrrrrr……”
Surya memapah tubuh Ibunya dalam pangkuan. Orang-orang mulai mengerubungi. Mereka iba. Empati. Berusaha untuk mengerti perasan dan bathin yang dialami Surya dan Ibunya. Penyesalan, mengapa selama ini membiarkan anak dan isteri mereka larut dalam kemaksiatan si Bapak tua itu. Beberapa diantara mereka memalingkan wajah tak kuasa melihat luka dan penderitaan Bu Indah. Hati mereka seolah ikut merasakan pahit dan getir. Suasana hening. Masing-masing larut dalam pikiriannya.
(keadaan tsb dimanfaatkan oleh Pak tua pemilik rumah untuk segera masuk dan mengunci pintu rapat-rapat)
”Surya….maafin….maafin Ibu nak…..” suara Bu Indah terputus-putus dan nyaris tak terdengar
”..huk….huk…” Surya mendekap semakin erat tubuh Ibunya. Membersihkan darah yang masih mengalir dari bibir Ibunya
”Surya…maafin Ibu nak…” Bu Indah kembali mengulang perkataan itu
”…huk..huk..Ibu…Bu….”
”Surya….Ibu terpaksa melakukan ini….” suara Bu Indah semakin lirih
”….huk…huk…Ibuuuu….”
”Ibu terpaksa….terpaksa….menjual harga diri….”
”Ibu….Ibu…terpa….terpaksa….demi …kuliah..kuliah kamu Nak…” suara Bu Indah semakin tak terdengar jelas
”Ibu sayang…..ka..kamu Sur….Ibu menjual…..harga….harga diri…demi ….kualiah kamu… ”
”Ibu….Ibu…..” Bu Indah tak mampu meneruskan kata-katanya. Mulutnya mengeluarkan darah segar. Kemudian tak sadarkan diri.
”Ibuuuu…..Ibuuuu…..”
Orang-orang segera membantu mengangkat tubuh Bu Indah…..
”Masukan ke mobil saya saja Pak….” seru Riana kepada orang-orang itu.
”Huk…huk….Ibuuuu….” Surya masih duduk bersimpuh di jalan
Riana dan salah seorang warga membantu Surya berdiri dan memapah.
”..Huk….huk…Ibuuuu….”
”Sur,…sudahlah….tenangkan hatimu….”
”Dia Ibu yang hebat..sayang terhadap anaknya….mau melakukan apapun untuk kebahagiaan anak….”
”…..”
”Kasih Ibu….kepada beta..tak terhingga sepanjang masa…..”
Bu Indah dibaringkan di kursi mobil bagian belakang. Tubuhnya lemah dan tak sadarkan diri. Surya termenung disamping ibunya. Berlutut dan mengusap kepala Ibunya. Sementara orang-orang mulai mendatangi pemilik rumah mewah itu.
Riana segeral melarikan mobilnya. Melaju diantara jalan desa yang tak terlalu mulus. Membiarkan Surya yang khusyu’ menemani Ibunda tercintanya. Bu Indah yang selalu berkorban untuknya. Meski dengan menggadaikan harga diri dan kehormatan. Tanda bukti cinta dan kasih sayang kepada anaknya
Air mata Surya tak henti mengalir, sebagian diantaranya jatuh di wajah Ibunya. Tangan kanannya mengusap lembut rambut Ibunya yang terurai. Tangan kirinya memegang dan menopang tubuh Ibunya agar tak terjatuh. Surya menyesali waktu yang telah berlalu. Seandainya ia tak pergi ke Jakarta, mungkin kejadian seperti ini tak akan terjadi. Yaa, seandainya ia tetap di desa menemani Ibunya, niscaya ia tidak akan menyaksikan penganiayaan yang dialami Ibunya…yyaa, seandainya…seandainya ia tidak menuruti kata Ibunya untuk mengambil beasiswa kuliah ke Jakarta, ia tentu akan tetap bahagia bersama Ibunya.
”Ibu..mengapa Ibu berbohong ama Surya, Bu….”
”Mengapa Ibu melakukan ini….mengorbankan diri demi Surya….”
Setetes air mata Surya jatuh tepat di pelupuk mata Bu Indah. Mata itu bergerak dan sedikit terbuka(kasih sayang ibu : http://kfk.kompas.com/)
(sumber : google - http://kfk.kompas.com/)
”Surya….”
”Ibuuu…” Surya segera memeluk Ibunya
”Ibu ada dimana Sur….kepala Ibu sakiiiitt…”
”Kita sedang ke rumah sakit Bu….” air mata surya kembali menertes membasahi pipinya.
Diusap lembut wajah Ibunya. Dirasakan banyak kerutan di pipinya. Tanda penuaan yang tidak pernah dirasakannya….
Dari kaca spion tengah, Riana melihat untuk kali pertama seorang Surya, Ketua BEM di kampusnya duduk bersimpuh, berurai air mata. Tanpa sadar Riana terbawa emosi jiwa. Kelopak matanya ikut basah. Hatinya tersentuh. Jiwanya ikut merasakan apa yang dialami Ibu dan anak itu.
Mobil yang dikendarai Riana masuk ke halaman RSUD, menuju ruang Unit Gawat Darurat. Beberapa orang perawat datang membawa tempat tidur dorong dan mengangkat tubuh lemah Bu Indah.
Surya dan Riana ikut mengantar Bu Indah menuju ruang perawatan. Batin meraka masih diliptu rasa duka, sedih dan ………………………….
Lamat-lamat dari kejauhan terdengar suara dua orang anak kecil bernyanyi dengan suara parau dan agak cadel…..
”..Kasih Ibu…kepada beta….”
”..tak terhingga…sepanjang masaaaa…Hanya memberi tak harap kembali……”
Suara itu kemudian lenyap tertelan desingan suara pon yang tertiup angin. Kemudian lamat-lamat terdengar kembali…
”Kasih Ibu kepada beta…tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia”
Salam ukhuwah
elha – KLINIK CINTA
2 komentar:
susah y jadi wong cilik. selalu jadi mangsa
sedih asli. mao minta tisu utk ngusap air mata
Posting Komentar