Senin, 10 Agustus 2009

TERIMA KASIH SUDAH MEMBUAT KAMI SADAR….(bag.1)

TERIMA KASIH SUDAH MEMBUAT KAMI SADAR….(bag.1)

By elha – pengamat sosial pinggiran

.

Anak itu telah membuat kita semua sadar, betapa selama ini kita telah ‘membunuh’ banyak orang. Dia berhasil menggugah kita hanya dengan perkataan yang sederhana.

.

---oooOooo---

“Baaang....!” seru anakku kepada seorang penjual kue pancong

“Yaa...” jawab penjual kue pancong tersebut dengan senyum malu.

.

“Bi. Itukan temen aku” jelas anakku, Fachri yang masih berusia empat tahun

“Ohh itu temen Ai...?” tanyaku retoris sambil terus mengendarai sepeda motor

“Iyya....” jawab anakku pasti dengan senyumannya yang khas

.

Aku termenung sejenak dan berfikir, anakku berteman dengan penjual kue pancong? Bukankah anakku masih sangat kecil. Baru berusia empat tahun sementara penjual kue pancong itu sudah berkumis. Ku perkirakan usianya sudah berkepala empat. Yaa, lebih kurang 45 tahun lah.

.

Kembali kubayangkan wajah penjual kue pancong tadi. Badannya agak gemuk dan tidak terlalu tinggi. Kulitnya legam hasil ‘persetubuhannya’ dengan sinar matahari. Sementara kepalanya tertutup topi anyaman pandan (?). Sekilas kuperhatikan pula segaris kumis tebal diantara hidung dan bibirnya, seperti menambah ke’angkeran’ tongkrongannya.

.

Anakku bermain dengan penjual kue pancong tadi gumamku dalam hati. Perasaan cemas dan takut merasuki perasaanku. ‘ach..ini hanya kekhawatiran yang berlebihan’ batinku menghibur. Sepeda motorku terus melaju perlahan menyusuri jalan yang dipenuhi anak-anak yang sedang bermain. Kelangkaan lahan bermain membuat anak-anak itu ‘dipaksa’ untuk bermain di jalan. Meskipun bukan jalan raya, namun lalu lalang kendaraan cukup ramai, sehingga seringkali mereka menepi dan menghentikan sementara permainan dan melanjutkan kembali setelah kendaraan berlalu.

.

Ku alihkan pikiranku pada anak-anak yang bermain di jalan tadi. Aku geleng-geleng kepala, seandainya aku memiliki lahan luas, kuingin membuat taman bermain anak.....ku hela nafas panjang, Alhamdulillah, didepan rumahku masih tersisa beberapa puluh meter persegi lahan kosong yang sering dijadikan arena bermain dan sekitar 400m2 lainnya dijadikan taman serta (calon) perpustakaan RT. Sejuk nian, nyaman dengan hembusan angin yang lembut menggoda daun-daun hijau tanaman muda.

.

Sepeda motorku memasuki Jl. Sayuti II di bilangan Rawasari. Sekumpulan bocah kecil berumur antara 5 – 10 tahun berhamburan dan berteriak memanggil nama anakku

”Aiiiiii...Aiiiiii... !!” seru mereka

”Fachri...Fachri....” panggil seorang kakek dengan suara agak serak payau.

Kakek yang biasa di panggil ’Opa’ kemudian mendekati anakku dan memberikan dua bungkus wafer kecil. Satu rasa vanila dan lainnya rasa coklat.

.

”Mamaaaa....Ai datang Ma...” seru seorang Ibu dari pelataran rumahnya

Tak lama berselang datanglah seorang Nenek tua yang kerap dipanggil Oma bersama anaknya, dan juga anak angkatnya

”Aii...kok lama sekali gak main kesini. Opa bilang sama Oma....Aiii itu lucu dan bikin gemas...itu tante Debi juga sayang sama Ai” katanya dengan tutur bahasa yang halus dan perlahan

”Fachri itu anak yang baik Pak. Bikin gemes. Ramah dan selalu senyum....” jelas tante Debi menambahkan

.

”Eh ada tamu jauh....” kata seorang Ibu berperawakan gemuk dari dalam rumah penuh canda. Ya karena rumah kami hanya berjarak sekitar 400 meter.

”Ai..gak keriting lagie ya” lanjutnya.

Ibu.

Ucapan-ucapan mereka membuat aku tersentak. Kaget luar biasa. Aku tak menyangka anakku cukup digemari dilingkungan, dimana dulu kami pernah tinggal. Meskipun hanya satu tahun kami sempat tinggal di sana, namun senyuman khas seorang bocah bernama Fachri cukup membekas di hati mereka. Bukan hanya anak-anak, namun juga orang tua dan Kakek Nenek tadi.

.

Aku tersenyum. Senyum bahagia diakruniai seorang anak yang mampu membuat senang banyak orang. Seorang anak yang bisa membuat suana hidup menjadi lebih hidup...hehehehe.

.

”Kerittiiiing...” seru seorang anak lelaki berusia belasan tahun, yang kabarnya berasal dari Flores

”Ahhh.. Ai kok keritingnya di potong sih” sambungnya lagi seolah menyayangkan.

.

Aku kembali memikirkan penjual kue pancong tadi. Senyumnya begitu mengembang ketika anakku memanggilnya. Senyuman yang tulus untuk membalas sapaan seorang bocah yang lugu dan polos. Mungkin penjual kue pancong itu tidak diuntungkan dengan sapaan anakku, karena tidak serupiah pun yang mampir kesaku celananya. Namun penggilan yang dilandasi keikhlasan dan tanda persahabatan telah membuatnya merasa ’lebih hidup’, meskipun hanya dari seorang anak berusia empat tahun.

.

Mungkin sapaan anakku mengingatkannya pada anak atau cucunya di kampung sana sehingga membuatnya menjadi lebih bersemangat lagi untuk berusaha dan mencari nafkah di Jakarta. Atau mungkin juga sapaan anakku membawa dirinya bernostalgia pada masa lalu, masa ketika ia masih kanak-kanak di lingkungan desa/kampung yang ramah dan bersahaja.

.

----oooOooo---

”Kitiing Ambon...mau kemana kitiing...?” tanya seorang Ibu tetangga rumahku di satu pagi, ketika aku mengeluarkan sepeda motor teman setiaku

”Mo sekolah...” jawab anakku

”Bude boleh ikut ga...?” tanyanya lagi sambil membungkuk dan mencubit pipi anakku

”hue...emangnya pipi aku kue apem” jawab anakku sambil menepis tangan Bude

Kami semua tertawa.

”Bude boleh ikut gak...?”

”Boleh aja...emangnya Bude masih TK...?” jawab anakku balik bertanya

”Kiting sekolah dimana kiting...?”

”di Al-Mubarok ...” jawab anakku dengan nada bicara yang agak cadel, sehingga intonasi huruf ’r’ nya bergetar antara ’L’ dan ’R’

.

”Kalo Fachri orangnya enak Pak. Suka negor...enak diajak ngomong..bikin orang ketawa” Ibu tadi menjelaskan

.

---oooOooo---

”Aiiii...kemana Aiiii..?” tanya seorang kakek penjual bubur ketika kami melewati gerobak dagangannya

”Mo ikut Abi...” jawab anakku singkat

.

Aku semakin mengerti mengapa anakku banyak disapa orang lain. Karena keramahannya dan kemauannya untuk menyapa lebih dahulu. Aku juga menjadi tahu mengapa banyak orang yang mau mengajaknya bermain, bercanda hingga gemas untuk menggoda, tak lain karena anakku tulus memberikan senyumnya kepada setiap orang yang dikenalnya, baik kenal wajah ataupun kenal nama.

.

Oh, seandainya keramahan kembali hinggap di hati kita. Seandainya setiap pribadi mau memberikan senyuman tulus kepada yang lain secara tulus, sepertinya kedamaian di bumi pertiwi akan kembali hadir seperti dulu. Bukankah kita dikenal sebagai bangsa yang ramah? Bukankah banyak wisatawan asing yang terkesan keramahan dan karakter orang Indonesia yang saling menghargai sesama? Lalu mengapa banyak diantara kita yang seolah-oleh ingin melupakan jati dirinya dan membenamkan budaya ’egoistis’, individualis dan materialistis. ’Membunuh’ akar budaya bangsa yang ramah dan murah senyum.

Aku teringat sebuah Hadits Rasulullah

”Tabassumu fi akhika shadaqoh" yang artinya senyum untuk saudaramu adalah Sedekah.

---oooOooo---

.

”Abaaannggg....” seru anakku kepada penjual kue pancong yang berjalan gagah sambil memikul dagangannya

”Bi aku mau beli kua pencong dong bi..”

.

Salam ukhuwah

elha - 10.08.2009


2 komentar:

elha mengatakan...

Punten....memang benar
Anak2 seringkali mengajarkan kita tenang m'hadapi sesuatu....bijak...tertawa dan ramah

--> tapi kita seringkali tidak sadar...hehehe

slm ukhuwah elha

Anonim mengatakan...

Boy Rachmad,
— 11 Augustus 2009 jam 2:09 pm

Salam Bung eLHa,

Ketulusan sejati memang hanya di temui pada senyum anak-anak…
Turut berbahagia atas anak bung eLHa yang ramah dan shaleh..
Semoga kelak ia berhasil dan sukses dalam kehidupan ini yang penuh dengan lika-liku dan
tantangan serta mara bahaya… dan menjadi anak yang shaleh/shaleha, penuntun jalan
kita kelak di alam baqa… semoga ia menjadi pelita hati bagi setiap orang, khususnya bagi
abi dan umi…

Salam Sejahtera,


http://kompas.com/public.kompasiana.com/.../11/terima-kasih-sudah-membuat-kami-sadar…bag1/